Ancaman Kekerasan Rumah Tangga – Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Dari difinisi perkawinan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, oleh karena itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing pihak dapat mengembangkan kepribadiannya serta mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga, dalam hal ini adalah istri. Hal ini dapat menimbulkan ketidak harmonisan rumah tangga yang dapat berakhir pada perceraian. Tidak jarang ketidak harmonisan rumah tangga ini memicu perselisihan yang berkepanjangan dan berujung pada tindak kekerasan dalam rumah tangga, dan dalam hal demikian istri dan anak-anak selalu menjadi korban tindak kekerasan tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan upaya perlindungan korban dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia. Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya, yaitu Pasal 28 G ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang 1945 nenentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Baca Juga: Penganiayaan dan ancaman hukumannya
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan menjadi sangat diperlukan. Banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan diundangkannya UndangUndang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini, selain mengatur hal ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP.
Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menyatakan “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
- Kekerasan fisik
- Kekerasan psikis
- Kekerasan seksual, atau
- Penelantaran rumah tangga
Ancaman Kekerasan Rumah Tangga
Pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menyatakan “Kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.” Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 diatur dalam Bab VIII mulai Pasal 44 sampai dengan Pasal 53. Adapun ketentuan pidana untuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang bentuk kekerasannya adalah kekerasan fisik diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4).
Pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menyatakan :
- Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak RP 30.000.000,00; (tiga puluh juta rupiah)
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00; (empat puluh lima juta rupiah)
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00; (lima juta rupiah).
Pasal 50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menentukan “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
- Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.
- Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51 menentukan bahwa “Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.