Rukun dan Syarat Nikah

Rukun dan Syarat Nikah dalam Islam – Suatu akad dapat terlaksana secara sah manakala telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Demikian pula halnya dengan akad nikah yang merupakana salah satu bentuk dari akad-akad yang ada dalam ajaran Islam. Rukun dalam pernikahan wajib terpenuhi ketika akan diadakan akad. Tidak sah akadnya jika tidak terpenuhi rukunnya. Jadi syarat-syarat nikah masuk pada setiap rukun nikah dan setiap rukun nikah mempunyai syarat masing-masing yang harus ada pada rukun tersebut, sehingga antara syarat-syarat dan rukun itu menjadi satu rangkaian, artinya saling terkait dan melengkapi. Akan tetapi tidak termasuk salah satu bagian dari hakikat pernikahan.

Rukun Nikah yang harus agar dapat terlaksanakannya pernikahan meliputi:

  1. Mempelai laki-laki
  2. Mempelai perempuan
  3. Wali
  4. Dua orang saksi
  5. Ijab dan Qobul

Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam tiap rukun nikah di atas adalah sebagai berikut:

1) Mempelai laki-laki Syarat-syarat bagi mempelai laki-laki yaitu :

  1. Jelas orangnya
  2. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
  3. Tidak memiliki empat istri, sekalipun salah satu di antaranya berada dalam iddah raj’iyyah
  4. Tidak ada hubungan mahram dengan calon istri (istri bukan muhrim yang haram dinikahi)
  5. Tidak ada pertalian sesusuan dengan calon istri
  6. Tidak ada hubungan persemendaan dengan calon istri.

2) Mempelai Perempuan.

Syarat-Syarat mempelai perempuan, antara lain adalah :

  1. Dalam keadaan tidak bersuami dan tidak sedang iddah dari talak suami yang lain.
  2. Jelas orangnya
  3. Tidak ada hubungan muhram dengan calon suami
  4. Tidak ada pertalian susuan dengan calon suami
  5. Tidak ada hubungan persemendaan calon suami

3) Syarat-Syarat Wali Dalam pernikahan

Wali memegang peranan yang sangat penting, sebab pernikahan itu dilangsungkan oleh wali pihak perempuan atau wakilnya dengan calon suami, sehingga dalam pernikahan diperlukan wali dari pihak perempuan, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab dari Yunus bin Abu Ishaq dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.” (Abu Isa At Tirmidzi)

Menurut jumhur, wali merupakan syarat sahnya nikah dan bagi wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.

Adapun syarat-syarat wali adalah :

  1. Beragama Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Merdeka
  5. Laki-laki
  6. Mempunyai sifat adil

Keberadaan wali dalam pernikahan sangat penting. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pendapat mengenai keberadaan wali sebagai legalitas pernikahan bagi seorang yang masih dalam kelompok anak.

Menurut Abu Hanifah bahwa dalam pernikahan yang dilakukan pada saat usia anak melalui wali, anak itu apabila sudah besar boleh memilih lagi untuk menetapkan pernikahan atau memutuskannya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh seseorang mengawinkan anak kecil kecuali oleh bapaknya, sebab orang tua sangat mendalam rasa cinta kepada anaknya.

Pendapat tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pernikahan anak dengan wali bapaknya akan tetap menjadi dasar legalitas pernikahan serta anak tidak perlu memutuskan pilihan terhadap pernikahan yang telah dilakukannya.

4) Saksi Menurut jumhur ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi itu tidak sah.

Jika ketika berlangsungnya ijab qabul itu tidak ada saksi yang menyaksikan sekalipun diumumkan kepada khalayak ramai dengan menggunakan cara lain, pernikahannya tetap tidak sah.

Tentang syarat-syarat menjadi saksi adalah sebagai berikut:

  1. Beragama islam
  2. Laki-laki
  3. Baligh
  4. Berakal
  5. Mendengar
  6. Melihat
  7. Bisa berbicara
  8. Mengerti bahasa yang digunakan
  9. Tidak ditentukan selaku wali.

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

5) Ijab dan Qabul

Pernikahan merupakan peristiwa hukum yang erat kaitannya dengan aspek muamalah hubungan antar individu, oleh karenanya kesepakatan antara pihak-pihak harus jelas. Hal yang mendasar dalam pernikahan adalah ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan keduanya untuk berkeluarga. Perasaan ridha dan setuju itu bersifat kejiwaan yang tidak dilihat dengan mata kepala. Karena itu harus ada tanda yang tegas untuk menunjukkan keamanan mengadakan ikatan suami istri. Tanda itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad.

Adanya konsekuensi yang diakibatkan dari pernikahan berupa hak dan kewajiban memerlukan adanya tindakan konkrit dari hal tersebut. Akad berupa aktifitas konkrit dengan syarat tertentu merupakan manifestasi dari hal tersebut. Akad nikah terdiri dari dua bagian, yaitu ijab dan qabul.

Ijab ialah perkataan wali atau wakilnya, dan qabul ialah penerimaan dari pihak mempelai laki-laki atau wakilnya. Akad nikah itu tidak dapat dibenarkan dan tidak mempunyai akibat hukum yang sah apabila belum memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Adanya pernyataan menikahkan atau mengawinkan dari wali
  2. Adanya pernyataan penerimaan dari mempelai pria akan pernikahan tersebut.
  3. Antara pernyataan ijab dan Qabul saling bersambungan, maksudnya tidak diselingi oleh kata lain yang tidak bersangkutan dengan akad.

Adanya akad inilah yang kemudian berlakunya status hukum pernikahan.

 

Kewajiban Memberikan Mahar

Kata mahar di dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maskawin. Mahar atau maskawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak istri dan sunnah disebutkan ketika akad nikah berlangsung.

Jadi pemberian maskawin ini adalah wajib dan sunnah disebutkan pada waktu akad nikah. Namun apabila maskawin itu tidak disebutkan dalam akad nikah, maka wajib membayar maskawin yang pantas (mahar mitsil). Nilai mahar dalam Islam tidak ditentukan jumlah minimal atau maksimalnya. Yang prinsip adalah pengantin laki-laki harus memberikan mahar menurut kemampuannya. Prinsip ini dipegangi bukan untuk meringan-ringankan perkara mahar mereprestasikan tanggungjawab dan kesungguhan untuk menikah.

Meskipun wajib, menyerahkan mahar pernikahan bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah pun tidak menyebabkan perkawinan menjadi batal. Penyerahan mahar yang masih terhutang pun juga tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Adakah Batasan Jumlah Mahar? Pada dasarnya, penentuan mengenai jumlah, bentuk dan jenis mahar tidak diatur oleh hukum, sehingga tidak ada batasan jumlah mahar yang diberikan oleh calon suami dan bentuk serta jenis mahar tersebut didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak.

Demikian Rukun dan Syarat Pernikahan bagi yang beragama Islam.

Baca Juga: Hukumnya Pernikahan dalam Islam

By Sugali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *